Selasa, 20 September 2016

Batik Menurut Bentuk Pola (Geo-Non Geo)

Batik Menurut Bentuk Pola (Geo-Non Geo)
Bismillah
Assalamualaikum Wr. Wb.
Salam karya, Sobat. Batik menurut bentuk pola dapat dikelompokan menjadi dua yaitu geometris dan non geometris.

Pola geometris
Golongan geometris adalah golongan motif yang mudah dibagi-bagi menjadi bagian-bagian yang disebut rapor ( Sewan Susanto, 1980: 215). Golongan geometris ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu pertama yang rapornya berbentuk seperti ilmu ukir biasa, dengan bentuk segi empat, segi empat panjang dan lingkaran. Kedua tersusun dalam garis miring, sehingga rapornya berbentuk belah ketupat. Motif batik yang tergolong mepunyai rapor segi empat ialah :

Pola “banji
Pola Banji termasuk salah satu pola batik yang tertua, berupa silang yang diberi tambahan garis-garis pada ujungnya dengan gaya melingkar kekanan atau kekiri. Motif yang seperti ini terkenal di berbagai  kebudayaan kuno di dunia ini dan sering disebut swastika. Di Nusantara pola ini tidak terbatas pada seni batik saja, tetapi dapat dijumpai pula sebagai hiasan benda-benda lain yang tersebar dibanyak pulau. Nama “Banji” berasal dari kata-kata Tionghoa “Ban’ berarti sepuluh, dan “Dzi” yang artinya ribu, perlambang murah rejeki atau kebahagiaan yang berlipat ganda. Melihat atau mendengar nama ini, maka dapat diperkirakan bahwa pola banji masuk ke dalam seni batik sebagai akibat pengaruh kebudayaan Tionghoa. Seperti telah diketahui bahwa pada tahun 1400 Masehi, di pantai utara Pulau Jawa telah banyak orang-orang Tionghoa yang menetap, dan yang dalam pada itu tentu membawa perbendaharaan kebudayaan mereka yang kuno dan kaya itu. Hal ini nampak pada banyaknya peninggalan berupa barang pecah belah Tionghoa yang sampai kini masih tersebar di pantai utara dan di banyak bagian lain kepulauan Indonesia, sehingga tidaklah mustahil bahwa penduduk asli yang sudah lama berkenalan dengan para pendatang Tionghoa mengambil serta meniru pola-pola hiasan.
Mereka yang menyangkal pengaruh kebudayaan Tionghoa menunjuk kepada nama Jawa asli yang dipakai untuk pola ini yaitu : Balok bosok, artinya kayu yang busuk, karena pola banji menyerupai balok-balok bersilang yang dimakan bubuk. Pola banji dalam seni batik mengalami bermacam perubahan dan diberi hiasan-hiasan tambahan, misalnya seringkali diseling dengan daunan atau rangkaian bunga-bungaan, sedemikian rupa hingga sukar untuk mengenal kembali silang banjinya.


Pola “ceplok” atau “ceplokan”
Pola yang sangat digemari, terdiri atas garis-garis yang membentuk persegi-persegi, lingkaran-lingkaran, jajaran-jajaran genjang, binatangbinatang atau bentuk-bentuk lain bersegi banyak. Bila diteliti benar-benar maka terlihat bahwa pola ceplok ini berupa stiliring atau abstraksi berbagai benda, misalnya saja bunga-bunga kuncup, belahan-belahan buah, bahkan binatang-binatang. Itulah sebabnya banyak diantara motifmotif ini memakai nama kembang atau binatang. Selain sangat digemari pola ini juga sangat tua usianya, hal ini terlihat pada beberapa peninggalan candi terdapat hiasan-hiasan yang menyerupai atau mengingatkan kita pada pola ceplok ini. Dalam golongan pola ceplokan ini dapat juga dimasukkan pola yang lazim dikenal dengan nama pola ganggong. Berbagai-bagai tafsiran para ahli mengenai asal-usul pola ini. Jasper dalam bukunya yang terkenal mencari asalnya pada semacam tumbuh-tumbuhan dipaya-paya yang buahnya kalau dibelah dua menunjukkan gambaran yang mirip dengan pola batik ganggong. Tetapi harus diingat bahwa inipun hanya salah satu diantara sekian banyak keterangan mengenai asal pola ini.

Golongan motif Ganggong.
Golongan motif ganggong sepintas seperti motif ceplok, bedanya motif ganggong berupa garis yang tidak sama panjang, sedang ujung garis yang paling panjang mirip bentuk salib. Ada yang menganggap pola genggong sebagai pola yang berdiri sendiri, karena menunjukkan beberapa ciri yang khas, berupa binatang-binatang atau silang-silang yang ujung jari-jarinya melingkar seperti benang sari bunga. Pola ganggong inipun mengalami bermacam-macam variasi.

Pola “kawung”
Golongan motif kawung yaitu motif yang tersusun dalam bentuk bundar, lonjong atau elips. Susunan memanjang menurut garis diagonal miring kekiri dan kekanan secara berselang seling. Motif kawung digambarkan berupa lingkaran-lingkaran yang saling berpotongan atau bentuk bulat lonjong yang saling mengarah kesatu titik yang sama. Nama-nama dari motif kawung didasarkan pada besar kecilnya kawung tersebut, misalnya :
a)    Kawung bentuknya kecil-kecil disebut kawung pecis. Pecis adalah nama mata   
   uang dari logam yang paling kecil.
b)   Kawung yang berukuran agak besar disebut kawung bribil. Bribil adalah mata uang logam yang besarnya lebih besar dari picis.
Pola ini sebenarnya dapat digolongkan dalam motif ceplokan, tetapi karena kunonya dan juga karena sifat-sifatnya yang tersendiri dijadikan golongan yang terpisah. Pola ini tergolong kuno, hal ini dapat dilihat pada pahatan/ukiran Candi Prambanan yang didirikan kira-kira pada abad VIII Masehi dan juga pada beberapa peninggalan lain. Mengenai asal-usul pola ini terdapat perbedaan faham. Ada yang mengembalikan pola ini kepada buah pohon aren atau kawung, karena belahan buah aren itulah yang menjadi dasar pola kawung. Tetapi Rouffaer misalnya, berpendapat bahwa pola kawung berasal dari suatu pola kuno yang lain yaitu pola gringsing. Pola grinsing ini telah disebut dalam sumber-sumber tertulis silsilah raja yang bernama Pararaton (abad ke-14). Pola yang terdiri atas lingkaran-lingkaran kecil dengan sebuah titik di dalamnya tersusun seolah-olah sisik ikan atau ular, menjadi penghias latar/dikombinasikan dengan motif lain. Sumber-sumber dari Jawa Timur tahun 1275 menyebutnya bersamaan dengan motif wayang, misalnya grising. Grising inilah kemudian berkembang serta berubah menjadi pola kawung. Pola kawungan bermacam-macam ragamnya, berbeda menurut besarkecilnya ukuran yang dipakai, sangast digemari di kalangan Kraton Yogyakarta tempat ia pernah menjadi pola larangan, artinya yang dalam bentuk murninya hanya boleh dipakai oleh Sri Sultan serta keluarganya yang terdekat.

Pola “nitik”
Dari nama pola ini orang akan mendapat kesan sifat atau rupanya, yaitu titik-titik atau garis-garis pendek yang tersusun secara geometris, membentuk pola yang meniru tenunan atau anyaman. Mereka yang mencari asal-usul teknik batik pada tetesan atau titik-titik lilin (kata tik), menganggap pola ini sebagai pola yang tertua. Diantara sekian banyak pola nitik, yang terkenal ialah pola Cakar Ayam dan Tirtateja.

Pola garis miring merupakan pola yang susunannya menurut garis miring atau diagonal secara tegas. Ada dua macam pola yang termasuk golongan ini yaitu pola parang dan lereng. Pola yang paling terkenal serta digemari diantara pola garis miring ini adalah pola parang. Adapun tanda atau ciri pola parang ini ialah lajurlajur yang terbentuk oleh garis-garis miring yang sejajar berisikan garisgaris pengisi tegak, dan setiap lajur terpisah dari yang lain oleh deretan ornamen yang bergaya miring juga, dinamakan mlinjon. Kata mlinjon dipakai disini oleh karena motif pemisah tadi berbentuk jajaran genjang kecil, menyerupai buah mlinjo. Nama parang ialah nama pencakup, sebab motif inipun mempunyai banyak ragam. Yang termasyur diantaranya ialah pola Parang Rusak. Banyak teori dan pendapat
dikemukakan orang berhubung dengan asal-usul pola ini. Ada yang
mencari akarnya dalam sejarah Jawa kuno, misalnya dengan Raden Panji. Nama parang sering mengingatkan orang pada pisau atau keris, itulah sebabnya ada yang mencari sumber pola ini pada stiliring daripada keris atau pisau. Sering pula dikatakan, bahwa lahirnya pola ini diilhami oleh tokoh Sultan Agung dari Mataram (1613 – 1645). Tetapi telah menjadi kenyataan bahwa pola Parang Rusak menjadi larangan, artinya hanya boleh dipakai oleh sang raja sendiri atau keluarganya yang terdekat. Hal ini masih dipegang teguh sampai sekarang di dalam lingkungan tembok kraton, walaupun diluar istana tidak dihiraukan lagi larangan ini. Nama-nama yang diberikan kepada beberapa macam pola Parang Rusak berbeda menurut ukuran polanya. Parang rusak dengan ukuran yang terkecil dinamakan Parang Rusak Klitik, yang agak besar dinamakan Parang Rusak Gendreh, dan yang terbesar Parang Rusak
Barong. Pola yang disebut terakhir ini mempunyai proporsi serta
kesederhanaan pola yang menimbulkan suasana keagungan, hingga dapatlah dimengerti mengapa dikalangan istana Jawa Tengah dianggap keramat dan hanya boleh dipakai oleh sang raja sendiri atau sebagai sajian tertentu kepada para leluhur. Motif-motif lain dapat pula disusun menurut pola garis miring dan contoh yang terkenal ialah pola udan liris dan rujak senthe, yang karena kehalusan motif-motif yang disusun miring itu seolah-olah menyerupai hujan rintik-rintik atau liris.


Pola Non-Geometris

     
Golongan non geometris yaitu motif batik yang tersusun atas ornamen (tumbuh-tumbuhan, meru, pohon hayat, candi, binatang, burung, garuda ular atau naga) dalam susunan tidak teratur menurut bidang geometris meskipun dalam satu kain batik akan terjadi pengulangan motif tersebut. Pembuatan pola-pola non-geometris ini tidak terbatas karena si pencipta pola tidak begitu terikat oleh ukuran atau gaya-gaya tertentu. Walaupun demikian akan terlihat bahwa tradisi masih memegang peranan yang penting mengenai tata susunan pola.

Pola Semen

Semen berasal dari kata “semi” yang berarti
tumbuhnya bagian dari tanaman atau kuncup-kuncup, daundan bunga-bunga. Untuk memberi pegangan dalam membedakan sekian banyak macam pola semen, para penyelidik batik membuat pembagian berdasarkan beberapa persamaan yang terlihat, yaitu :
·      Pola semen yang hanya terdiri atas kuncup daun-daunan serta bunga-bunga (misalnya : pola pisang Bali, kepetan).
·       Pola semen yang terdiri atas kuncup-kuncup, daun serta bunga-bungaan dikombinasikan dengan motif binatang (misalnya: pakis, peksi, endol-endol, merak kesimpir).
·       Pola semen yang terdiri atas gambaran tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang, ditambah dengan motif sayap atau Lar. Motif Lar atau sayap ini merupakan pelengkap pada pola semen, dan dalam perbendaharaan ornamen batik mengenal tiga bentuk yaitu : Lar, Mirong dan Sawat. Lar berupa sayap tunggal, sedangkan Mirong ialah sayap kembar. Motif Sawat yang sejak dahulu kala dianggap sebagai pola raja-raja adalah sayap kembar lengkap dengan ekor yang terbuka. Asal-usul motif sawat tidak jelas, Rouffaer menggalinya dalam sejarah perlambang kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, sebagai lambang kejayaan.

Motif buketan atau terang bulan.
Motif buketan adalah motif yang mengambil tumbuh-tumbuhan atau bunga-bunga sebagai ornamen hias, digambar secara realistis tanpa distilisasi, disusun meluas memenuhi bidang kain yang terdapat pada kain sarung, sedangkan motif terang bulan hampir sama dengan motif buketan hanya penempatannya pada ujung kain berbentuk segitiga yang disebut “tumpal”. Tumpal ini diberi isen-isen motif batik, sedangkan yang diluar bidang tumpal diberi ornamen kecil-kecil yang bertebaran.

Masih banyak lagi pola-pola yang tidak bersifat geometris. Daerah yang terkenal dengan nama Pesisir dimana orang tidak begitu terikat oleh tradisi kraton-kraton, menjadi tempat asal pola yang beraneka ragam. Cirebon dengan pola-pola tidak geometris yang menggambarkan gunung-gunung, batu-batu, kolam-kolam serta binatang-binatang diselingi dengan rangkaian tumbuh-tumbuhan serta bunga-bungaan. Pola seperti yang terdapat dalam selendang-selendang sutera atau Lookcan dari Pantai Utara Jawa Tengah dan Timur, dengan burungburung, bunga-bunga serta binatang-binatang lain, memperlihatkan campuran pengaruh berbagai ragam seni hias yang berasal dari berbagai kebudayaan. Semuanya itu kita coba sajikan dalam buku ini. Mudahmudahan dapat memberikan gambaran kepada para pembatik dan penggemar seni batik tentang kekayaan pola-pola seni batik Indonesia.




Trimakasih, semoga bermanfaat...

0 komentar:

Posting Komentar