Kualitas
sebagian besar ditentukan melalui bahan-bahan, rancangan dan pembuatan, ini
ditegaskan oleh kecocokannya dalam tujuan yang diukur oleh karakteristik
penampilan. Sebagai tambahan, ada kepuasan estetis yang datang dari penggunaan
kain berkualitas. Apresiasi terhadap kualitas harus dikaitkan dengan perasaan
untuk mode. Industri-industri tekstil dan pakaian secara berkala berusaha untuk
meningkatkan produk mereka dengan mempertinggi daya tarik dan mode.
Mempertinggi daya tarik penampilan dalam teksstil dilakukan
dengan mempertimbangkan aspek perancangan produk tekstil misalnya kandungan
serat,konstruksi/struktur kain, warna, aplikasi desain permukaan,penyempurnaan
dan bagian pelengkap. Perancangan dapat difokuskan pada salah satu atau
beberapa aspek sehingga dapat menciptakan pusat perhatian. Menciptakan sebuah
pusat perhatian dengan mempertimbangkan warna, bentuk motif, aplikasi desain
dan menyempurakan dengan bagian pelengkapnya memerlukan rasa dan ketekunan.
Rasa dan ketekunan tersebut juga dituangkan dalam ragam hias yang bermakna
seperti pada tekstil tradisi. Di dalam pasar tekstil mudah dijumpai kualitas
tekstil yang dinilai dari tampilan visual sebuah produk tekstil. Terutama dalam
produk tekstil inovasi.
Kualitas yang dinilai dari tampilan visual suatu produk serta
kurangnya pengetahuan konsumen mengenai kualitas produk tekstil menjadikan
tekstil tradisi menjadi kurang diminati.
Makalah ini membahas tentang karya dan produk tekstil tradisi
misalnya, Tenun Ikat, Ikat Celup dan Batik Tradisi. Teknik pembuatan teksti
tradisi tidak dapat dibuat dengan cara
lain sehingga mempunyai karakter yang khas dari masing-masing jenis dan daerah.
Hal ini menyebabkan produk tekstil tradisi memiliki kualitas yang bebeda dari
produk inovasi.
Karya tekstil tradisi kurang diapresiasi oleh konsumen.
Kalangan yang justru menghargai tekstil tradisi adalah orang-orang yang
menghargai kebudayaan misalnya para bangsawan, kalangan akademisi dan kalangan
profesional yang menlihat sebuah karya
tidak hanya ternilai dari tampilan visualnya tetapi juga tampilann tekstil yang
dibuat dengan teknik yang tidak mudah. Produk dan karya tekstil tidak hanya
dinilai dari tampilan visualnya saja namun juga proses pembuatan dan makna
filosofi dari ragam hiasnya.
Desain tekstil mempengaruhi ragam hias, fungsi, dan makna
dari sebuah karya tekstil. Desain tekstil dapat
dibedakan menjadi 2 jenis bagian:
1. Desain Permukaan (Surface Design)
Desain permukaan merupakan menciptakan, merancang, dan membuat sesuatu bentuk
motif yang berbentuk dua dimensi diatas permukaan kain. Desain permukaan
umumnya diproses pada kain yang bewarna putih polos dengan menggoreskan
berbagai macam motif dan warna sehingga kain tersebut memiliki keindahan,
keunikan, dan kekhasan tersendiri. Bentuk wujud dari desain permukaan, antara
lain: Batik tulis, Batik cap, sablon, hand painting, sulaman bordir, dan lain
sebagainya.
2. Desain Struktur (Structural Design)
Desain struktur merupakan merancang atau menciptakan sesuatu bentuk corak yang
dihasilkan melalui persilangan dan perpaduan benang pakan dan lungsi dengan
menerapkan prinsip-prinsip desain. Sehingga corak tersebut tercipta oleh karena
kesatuan benang pakan dan lungsi yang disusun secara terstruktur dan
sistematis. Sebelum proses tenun dilakukan biasanya benang pakan ataupun lungsi
telah diberi warna, sehingga dari susunan benang yang bewarna tersebut dapat
menghasilkan bentuk-bentuk corak yang diinginkan oleh konsumen ataupun
pengrajin. Produk-produk yang telah dihasilkan melalui proses desain struktur,
antaralain: Tenun songket, rajutan, anyaman, dan lain sebagainya.
A. Desain Permukaan pada Batik
Pada batik penerapan desain untuk ragam hiasnya adalah desain
permukaan dimana proses pembuatan batik dilakukan setelah menjadi kain. Tekstil
tradisi dibuat dengan rasa dan ketekunan yang dituangkan dalam ragam hias yang
bermakna. Misalnya pada batik terdapat motif- motif batik tradisi yang memiliki
makna filosofi. Batik-batik yang memiliki makna tersebut misalnya motif sawat
motif batik yang berupa sebelah sayap dengan harapan agar si pemakai selalu
mendapatkan perlindungan didalam kehidupannya. Motif ceplok merupakan motif
yang digunakan bagi seseorang sedang mencari jodoh. Motif truntum biasa dipakai
oleh orang tua pengantin dengan harapan agar cinta kasih yang tumaruntum akan menghinggapi kedua
mempelai. Hal tersebut membuktikan bahwa penampilan tekstil dalam masyarakat
Jawa sangat dibutuhkan sebagai salahsatu bagian hidup bersosial dan
berbudaya.
Dalam kalangan masyarakat yang masih lekat dengan kebudayaan seperti
di Jawa sangat membutuhkan batik sebagai tekstil tradisi. Batik dalam
kebudayaan jawa dibutuhkan untuk upacara bahkan kehidupan sehari-hari. Misalnya
dalam upacara pernikahan pengantin mengenakan busana basahan dengan
dodot/jarit, kain cinde (berbentuk celana untuk laki-laki dan kain jarit untuk
perempuan).
Dahulu hanya para selir dan putri keraton yang membatik untuk
kalangan penghuni kraton. namun semakin banyaknya kebutuhan untuk para penghuni
kraton menyebabkan pembuatan batik diluar kraton mulai dilakukan. Pembatikan diluar kraton membuat ragam hias
yang dibuat dari kraton mulai diminati masyarakat diluar kraton, sehingga
pembuatan batik inovasi yang terpengaruh gaya kraton pun mulai banyak
diproduksi.
Teknik pembuatan ragam hias batik menerapkan desain permukaan
karena teknik pembuatan motif dilakukan pada kain jadi dan menggunakan
perintang malam sehingga garis ragam hias yang dihasilkan berkarakter lembut.
Namun dikerjakan dengan tangan sehingga memiliki kesan karya. Motif batik yang dihasilkan dengan menggoreskan
malam dengan canthing tidak dapat disamai oleh tekstildengan teknik lain. Oleh
karena itu kualitas produk tekstil ternilai dari makna tampilan visual batik dan
hasil teknik yang tidak dapat disamai dengan teknik lain.
Desain Permukaan pada Tenun Ikat
Kalangan akademisi mengkaji dan meneliti berbagai tekstil
dari berbagai disiplin ilmu. Kalangan akademisi dapat menilai dan mengapresiasi
sebuah karya tekstil dengan pengetahuan yang dimiliki. Tekstil tradisi dibuat
dengan ketekunan dan nilai filosofi yang
kuat pada ragam hiasnya. Misalnya pada tenun Ulos yang dibuat dengan memberi
ragam hias pada tekstil dengan mengikat benang pakan atau lusi atau keduanya
kemudian memberi warna sehingga sewaktu ditenun akan memunculkan sebuah motif
dari susunan benang yang telah diberi warna. Tekstil ini menerapkan surface design (desain permukaan) karena
ragam hias yang muncul terjadi karena warna pada benang yang ditenun dan bukan
karena struktur tenunannya. Meskipun telah ditenun dan membentuk sebuah
motif Tenun ikat memiliki ciri visual
mempunyai lajur-lajur warna benang yang tidak teratur. Oleh karena itu tekstil
tenun ikat mempunyai satu ciri khas yang tidak dapat disamai oleh tekstil
dengan pemalaman atau ikat celup.
Pembuatan tenun ikat memiliki tingkat kerumitan dan kesulitan
yang tinggi. Tenun ikat Gringsing dari Bali merupakan tenun dobel ikat dimana
tidak hanya benang akan atau lungsi saja yang diikat namun benang pakan dan
benang lungsi diikat dan diberi warna. Sehingga untuk membentuk sebuah motif benang pakan dan benang lungsi berwarna yang ditenun harus bisa menempati tempat yang
sama. Tenun dobel ikat ini memiliki tingkat kerumitan lebih tinggi daripada
tenun ikat pakan atau tenun ikat lusi saja.
Oleh karena itu suatu produk tekstil ternilai dari tampilan
visual yang tidak dapat disamai dengan teknik lain.
B.
Desain Struktur
(Structural Design)
Bahan dasar
ulos pada umumnya adalah sama yaitu sejenis benang yang dipintal dari kapas.
Yang membedakan sebuah ulos adalah proses pembuatannya. Ini merupakan ukuran
penentuan nilai sebuah ulos.
Untuk memberi
warna dasar benang ulos, sejenis tumbuhan nila (salaon) dimasukkan kedalam
sebuah periuk tanah yang telah diisi air. Tumbuhan ini direndam (digon-gon)
berhari-hari hingga getahnya keluar, lalu diperas dan ampasnya dibuang.
Hasilnya ialah cairan berwarna hitam kebiru-biruan yang disebut “itom”.
Periuk tanah
(palabuan) diisi dengan air hujan yang tertampung pada lekuk batu (aek ni
nanturge) dicampur dengan air kapur secukupnya. Kemudian cairan yang berwarna
hitam kebiru-biruan tadi dimasukkan, lalu diaduk hingga larut. Ini disebut
“manggaru”. Kedalaman cairan inilah benang dicelupkan.
Sebelum
dicelupkan, benang terlebih dahulu dililit dengan benang lain pada
bahagian-bahagian tertentu menurut warna yang diingini, setelah itu proses
pencelupan dimulai secara berulang-ulang. Proses ini memakan waktu yang sangat
lama bahkan berbulan-bulan dan ada kalahnya ada yang sampai bertahun.
Setelah warna
yang diharapkan tercapai, benang tadi kemudian disepuh dengan air lumpur yang
dicampur dengan air abu, lalu dimasak hingga mendidih sampai benang tadi
kelihatan mengkilat. Ini disebut “mar-sigira”. Biasanya dilakukan pada waktu pagi
ditepi kali atau dipinggiran sungai/danau.
Bilamana warna
yang diharapkan sudah cukup matang, lilitan benang kemudian dibuka untuk
“diunggas” agar benang menjadi kuat. Benang direndam kedalam periuk yang berisi
nasi hingga meresap keseluruh benang. Selesai diunggas, benang dikeringkan.
Benang yang sudah kering digulung (dihulhul) setiap jenis warna.
Setelah benang sudah lengkap dalam gulungan setiap jenis warna yang dibutuhkan
pekerjaan selanjutnya adalah “mangani”. Benang yang sudah selesai diani inilah
yang kemudian masuk proses penenunan.
Bila kita memperhatikan ulos Batak secara teliti, akan kelihatan bahwa cara
pembuatannya yang tergolong primitif bernilai seni yang sangat tinggi.
Seperti telah
diutarakan diatas, ulos Batak mempunyai bahan baku yang sama. Yang membedakan
adalah poses pembuatannya mempunyai tingkatan tertentu. Misalnya bagi anak
dara, yang sedang belajar bertenun hanya diperkenankan membuat ulos “parompa”
ini disebut “mallage” (ulos yang dipakai untuk menggendong anak).
Tingkatan ini diukur dari jumlah lidi yang dipakai untuk memberi warna motif
yang diinginkan. Tingkatan yang tinggi ialah bila dia telah mampu mempergunakan
tujuh buah lidi atau disebut “marsipitu lili”. Yang bersangkutan telah dianggap
cukup mampu bertenun segala jenis ulos Batak.
0 komentar:
Posting Komentar